Saturday, 4 March 2017

PEMANFAATAN EKSTRAK BIJI MAHONI SEBAGAI PESTISIDA NABATI UNTUK MENGENDALIKAN HAMA ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) PADA PEMBIBITAN Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth.



PEMANFAATAN EKSTRAK BIJI MAHONI SEBAGAI PESTISIDA NABATI UNTUK MENGENDALIKAN
HAMA ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) PADA
PEMBIBITAN Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth.




Oleh :

RIO RUSANDI
1106121095













JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2015







I. PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang
Acacia crassicarpa merupakan salah satu jenis tanaman yang dikembangkan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI). Tanaman ini memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat (fast growing species) yang sangat adaptif dan toleran terhadap kondisi lingkungan yang cukup ekstrim. Jenis ini tidak menuntut persyaratan tumbuh yang tinggi dan dapat tumbuh pada lahan yang miskin hara (marginal), tanah berbatu serta tanah yang telah terdegradasi. Jenis ini juga mampu tumbuh dengan baik pada tanah yang basah (rawa dan lahan yang terendam secara berkala) dengan kandungan bahan organik yang tinggi dan pH rendah yaitu 3,5-6 (Thomson, 1994).
Pembibitan Acacia crassicarpa merupakan suatu hamparan tanaman sejenis yang dikembangkan secara generatif dan vegetatif yang sangat rentan terserang hama pengganggu tanaman. Salah satu hama yang sering menyerang pada tanaman muda di pembibitan yaitu serangan hama ulat grayak (Spodoptera litura F.). Ulat grayak dikenal sebagai hama yang sangat merusak. Menurut Golani dkk (2007), kerusakan yang ditimbulkan oleh ulat ini biasanya menyerang daun dan menyebabkan kerusakan yang berbeda jenis dan levelnya, sebagian aktif pada malam hari, sebagian besar ulat bersifat polifagus dan umumnya ulat ini bersifat sporadis dan musiman serta sebagian lain menyerang dalam jangka waktu yang lama.
Upaya pengendalian hama penganggu tanaman seperti hama ulat grayak umumnya hama ulat ini dikendalikan dengan menggunakan pestisida kimia. Kelebihan dari pestisida kimia yaitu hama yang dikendalikan akan langsung mati, jika dibandingkan dengan penggunaan pestisida nabati, penurunan populasi hama akan bertahap. Pestisida nabati biasanya bersifat mudah terurai (biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak karena residu cepat hilang. Oleh karena itu dikatakan pestisida nabati bersifat pukul dan lari, yaitu apabila dipakai akan membunuh hama secara bertahap dan setelah mati residunya akan cepat menghilang (Kardinan, 1999 dalam Darwiati, 2012).  
Perkembangan ilmu teknologi dalam upaya pengendalian hama pengganggu tanaman sangat pesat. Penggunaan pestisida kimia umumnya menjadi alternatif untuk mengendalikan hama pengganggu tanaman. Menurut Sastrodihardjo (1999), penggunaan pestisida kimia di Indonesia telah memusnahkan sekitar 55% jenis hama dan 72% agen pengendali hayati. Penggunaan pestisida kimia yang tidak bijaksana akan mengakibatkan dampak negatif, seperti timbulnya hama yang resisten, resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami dan organisme bukan sasaran, masalah residu serta pencemaran lingkungan (Untung, 1993). Oleh karena itu, perlu alternatif pengendalian lain yang ramah lingkungan.
Dalam 30 tahun terakhir, tidak kurang dari 1500 tumbuhan telah dilaporkan aktif terhadap serangga. Laporan aktivitas insektisida paling sering melibatkan jenis-jenis tumbuhan dari famili Meliaceae,  Annonaceae,  Asteraceae,  Piperaceae dan Rutaceae (Prakash dan Rao, 1997). Beberapa jenis tumbuhan penghasil pestisida yang telah diteliti dan terbukti efektif dalam pengendalian hama, salah satunya adalah mahoni (Sastrodihardjo, 1999).
Pestisida dari tanaman mahoni umumnya bersifat racun yang bekerja lambat serta memiliki efek penghambat makan dan menghambat perkembangan (Prijono, 1998). Masing-masing bagian tanaman mahoni mengandung senyawa yang berbeda-beda, pada kulit batang mengandung senyawa triterpenoid, sedangkan biji mahoni mengandung senyawa flavonoid dan saponin. Salah satu senyawa flavonoid yang dapat berperan sebagai insektisida adalah rotenon (Sianturi, 2001).
Penelitian genus Swietenia sekarang ini semakin berkembang. Dadang dan Ohsawa (2000) melaporkan ekstrak biji mahoni pada konsentrasi 5% dapat memberi penghambatan makan 100% larva P.xylostella. Menurut Prijono (1998), ekstrak biji mahoni pada konsentrasi 0.25% dapat menyebabkan kematian larva C. pavonana 10.4% pada instar 2 dan 43.7% pada instar 2-3 dengan residu pada daun brokoli yang dipaparkan selama dua hari.
Sehubungan dengan berkembangnya pemanfaatan biji mahoni dalam menekan populasi hama pengganggu tanaman dan melihat potensi biji mahoni yang ada, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian tentang “Pemanfaatan ekstrak biji mahoni sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada pembibitan Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth.”.

1.2. Perumusan Masalah
Salah satu masalah yang terjadi pada pembibitan Acacia crassicarpa yaitu serangan hama ulat grayak umumnya pengendalian hama tersebut menggunakan pestisida kimia. Penggunaan pestisida kimia mengakibatkan dampak negatif, seperti timbulnya hama yang resisten, resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami dan organisme bukan sasaran, masalah residu serta pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya alternatif pengendalian lain yang ramah lingkungan. Pemanfaatan ekstrak biji mahoni sebagai pestisida nabati untuk pengendalian serangan hama ulat grayak pada pembibitan Acacia crassicarpa adalah alternatif yang dapat digunakan sebagai pestisida yang ramah lingkungan.

1.3. Tujuan  Penelitian
1.        Mengetahui potensi ekstrak biji mahoni dalam mengendalikan hama ulat grayak pada pembibitan Acacia crassicarpa.
2.        Mengetahui konsentrasi yang tepat terhadap tingkat mortalitas hama ulat grayak pada pembibitan Acacia crassicarpa.

1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu memberikan informasi tentang pestisida nabati dari ekstrak biji mahoni yang efektif dalam pengendalian hama ulat grayak pada pembibitan Acacia crassicarpa yang ramah lingkungan.

II.   TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth.
Acacia crassicarpa merupakan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh  (fast growing species) yang sangat adaptif dan toleran terhadap kondisi lingkungan yang cukup ekstrim. Jenis ini tidak menuntut persyaratan tumbuh yang tinggi dan dapat tumbuh pada lahan yang miskin hara (marginal), tanah berbatu serta tanah yang telah terdegradasi. Jenis ini juga mampu tumbuh dengan baik pada tanah yang basah (rawa dan lahan yang terendam secara berkala) dengan kandungan bahan organik yang tinggi dan pH rendah yaitu 3,5-6 (Thomson, 1994).
Klasifikasi Acacia crassicarpa dalam taksonomi tumbuhan yaitu sebagai berikut:
Kingdom   :   Plantae
Divisi          :   Magnoliophyta
Kelas          :   Magnoliopsida
Ordo           :   Fabales
Famili         :   Fabaceae
Genus         :   Acacia
Spesies       :   Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth.
Menurut Doran dan Turnbull (1997), Acacia crassicarpa termasuk pohon yang dapat mencapai tinggi 20 m, tetapi terkadang juga dapat mencapai tinggi 30 m. Acacia crassicarpa tumbuh pada ketinggian 5-200 mdpl, di dekat laut tumbuh pada ketinggian 450 mdpl dengan curah hujan 1000-3500 mm/tahun. Jenis ini banyak ditemukan di daerah humid dan sub humid yang mempunyai suhu maksimum rata-rata 32ºC-34ºC, suhu minimum rata-rata 12ºC-21ºC dan suhu harian maksimum 32ºC.
Menurut Midgley (2000), Acacia crassicarpa termasuk jenis intoleran, sehingga sesuai  pada areal yang  terbuka.  Riap diameter dapat mencapai 2,5-3,5 cm/tahun dengan berat jenis kayu yang tergolong sedang (0,48-0,55). Kayunya dapat dimanfaatkan sebagai penghasil pulp dan kertas. Pada lahan basah (wet land), meski riapnya lebih rendah dari Acacia mangium (dry land), jenis ini mempunyai basic wood density yang lebih tinggi dan pulp yield yang sama sehingga hasil pulp perhektarnya masih cukup memadai.
Acacia crassicarpa mempunyai banyak kelebihan sehingga dikembangkan dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) baik pada lahan kering  maupun lahan-lahan basah. Kemampuan Acacia crassicarpa menekan gulma dan kandungan nodul rhizobium-nya yang melimpah, menjadikan jenis ini cukup sesuai bagi kepentingan kehutanan lainnya seperti dalam rehabilitasi hutan dan lahan (Yuliastuti dan Surip, 2009).
               Acacia crassicarpa memiliki serat kayu yang sangat baik terutama sebagai bahan baku pulp, produktivitas pulp mencapai 300 kg/m3. Karakteristik kayu gubal Acacia crassicarpa berwarna coklat-kekuningan dan kayu batang coklat keemasan. Acacia crassicarpa memiliki kayu yang kuat dan tahan lama dengan kepadatan 670-710 kg/m3. Sangat cocok untuk berbagai macam kayu gergajian termasuk struktural ringan dan tujuan dekoratif. Contohnya sebagai konstruksi, furnitur, lantai, papan dan bangunan kapal. Acacia crassicarpa juga ditanam sebagai tanaman reklamasi. Acacia crassicarpa dapat ditanam untuk pengendalian gulma dan sering dijadikan sebagai spesies yang efektif untuk rehabilitasi tanah yang penuh dengan tumbuhan ilalang (Imperata cylindrica). Di Papua Nugini, dilaporkan menjadi penjajah yang sangat kuat dalam mendegradasi tanah perladangan. Meskipun cocok untuk tanaman reklamasi, Acacia crassicarpa terlalu kompetitif untuk tumbuh dan dikombinasi dengan tanaman tahunan (Orwa, et al. 2009).

2.2. Ulat Grayak  (Spodoptera litura F.)
Ulat grayak termasuk dalam ordo Lepidoptera merupakan hama yang menyebabkan kerusakan yang serius pada tanaman budidaya di daerah tropis dan sub tropis  (Haryanti, 2006 dalam Rusdy, 2009).
Klasifikasi hama ulat grayak menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut :
Kingdom    :   Animalia
Divisi          :   Arthropoda
Kelas          :   Insecta
Ordo           :   Lepidoptera
Famili         :   Noctuidae
Genus         :   Spodoptera
Spesies       :   Spodoptera litura F.
Siklus hidup ulat grayak berlangsung selama 1 bulan. Stadia telur berlangsung selama 3 hari, masa stadia larva berlangsung selama 15-30 hari  (Rahayu, 2009). Setelah cukup dewasa, yaitu lebih kurang berumur 2 minggu, ulat mulai berkepompong, masa pupa berlangsung di dalam tanah dan dibungkus dengan tanah, masa imago ulat grayak memiliki umur yang singkat (Kalshoven, 1981). Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadang tersusun 2 lapis), warna coklat kekuning-kuningan, berkelompok masing-masing berisi 25-500 butir tertutup bulu seperti beludru (Tenrirawe dan Talanca, 2008). Ulat grayak aktif makan pada malam hari, meninggalkan epidermis atas dan tulang daun yang terserang berwarna putih, panjang ulat stadia dewasa 50 mm (Litbang Deptan, 2010).


 Ulat grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera : Noctuidae) merupakan salah satu hama yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang dan lain-lain. Ulat grayak menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif dan generatif yaitu memakan daun tanaman yang muda sehingga tinggal tulang daun dan memakan polong-polong muda (Fitriani dkk, 2011).

Kerusakan yang ditimbulkan oleh ulat ini biasanya menyerang daun dan menyebabkan kerusakan yang berbeda jenis dan levelnya. Sebagian aktif pada malam hari, sebagian besar ulat bersifat polifagus dan umumnya ulat ini bersifat sporadis dan musiman serta sebagian lain menyerang dalam jangka waktu yang lama. Pengendalian terpadu yang dapat dilakukan pada persemaian dapat dilakukan dengan penyemprotan insektisida sistemik dan kontak dapat diaplikasikan pada fase awal untuk meminimalkan infestasi (Golani dkk, 2007).
 
Menurut Umiati dan Nuryanti (2014), stadia larva berkisar antara 15-30 hari. Pada stadia larva mengalami 6 kali instar yaitu :
a.       Instar 1 : Warna tubuh hijau bening, panjang 2-2,74 mm, ditumbuhi bulu-bulu halus, kepala warna hitam, lebar 0,2-0,3 mm.
b.      Instar 2 : Tubuh berwarna hijau panjang 3,75-10 mm, bulu-bulunya tidak dorsal terdapat garis putih memanjang dari toraks hingga ujung abdomen. Pada ruas abdomen pertama terdapat garis hitam melingkar.
c.       Instar 3 : Panjang tubuh 8-15 mm, lebar kepala 0,5-0,6 mm. Pada bagian kiri dan kanan abdomen terdapat garis zig-zag berwarna putih dan bulatan-bulatan hitam sepanjang tubuh.
d.      Instar 4, 5 dan 6 : Ketiga instar ini agak sulit dibedakan. Panjang tubuh 13-20 mm, untuk larva instar 4, instar 5 : 25-35 mm dan instar 6 : 35-50 mm.  Pada bagian kiri dan kanan tubuhnya terdapat gambar berbentuk setengah  lingkaran. Mulai  instar 4, warna tubuh larva bervariasi yaitu hitam, hijau keputihan, hijau kekuningan atau hijau keputihan, hijau kekuningan atau hijau keunguan.

2.3. Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.)
Mahoni dalam klasifikasinya termasuk famili Meliaceae. Ada 2 spesies yang cukup dikenal yaitu: S. macrophyla (mahoni daun lebar) dan S. mahagoni (mahoni daun sempit) (Khaeruddin, 1999).
Menurut Khaeruddin (1999) tanaman mahoni tersusun dalam sistematika sebagai berikut:
Kingdom   :   Plantae
Divisi          :   Spermatophyta
Subdivisi    :   Angiospermae
Kelas          :   Dicotiledone
Ordo           :   Rotales
Genus         :   Swietenia
Spesies       :   Swietenia mahagoni Jacq.
Tanaman mahoni yang digunakan sebagai bahan pestisida alami adalah jenis mahoni S. mahagoni. Buah tanaman mahoni terlihat muncul di ujung-ujung ranting berwarna coklat dan termasuk jenis tanaman pohon tinggi sekitar 10-30 m, percabangannya banyak, daun majemuk menyirip genap, duduk daun tersebar. Helaian anak daun bulat telur, elips memanjang, ujung daun dan pangkal daun runcing panjangnya sekitar 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat telur memanjang berwarna coklat panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni dapat tumbuh dengan baik di tempat yang terbuka dan terkena cahaya matahari secara langsung, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, yaitu dengan ketinggian 1000 mdpl (Sutarni, 1995).

2.3.1. Kandungan Biji Mahoni
Biji mahoni mengandung senyawa flavonoid, saponin, alkaloid, steroid dan terpenoid (Sianturi, 2001). Kelompok flavonoid yang bersifat insektisida alam yang kuat adalah isoflavon. Isoflavon memiliki efek pada reproduksi, yaitu antifertilitas. Senyawa flavonoid yang lain bekerja sebagai insektisida ialah rotenon. Rotenoid merupakan racun penghambat metabolisme dan sistem saraf yang bekerja perlahan. Serangga yang mati diakibatkan karena kelaparan akibat kelumpuhan pada alat mulutnya (Siregar dkk, 2006). Saponin menunjukkan aksi sebagai racun yang dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah (Sianturi, 2001). Pada biji mahoni juga terdapat senyawa sweitenin yang termasuk senyawa limonoid yang bersifat sebagai antifeedant dan penghambat pertumbuhan (Dadang dan Ohsawa, 2000).
Biji mahoni juga mengandung senyawa yang mirip dengan Butane Hexane Chlor (BHC) dengan konsentrasi 0,005 ppm. Senyawa BHC atau yang dikenal sekarang Hexa Chlorosiclo Hexana (HCH) merupakan insektisida organo klorida yang bersifat racun perut dan racun pernapasan (Sastrodihardjo, 1999). Menurut Sianturi (2001), masing-masing bagian tanaman mahoni mengandung senyawa yang berbeda-beda, pada kulit batang mengandung senyawa triterpenoid, sedangkan biji mahoni mengandung senyawa flavonoid dan saponin. Salah satu senyawa flavonoid yang dapat berperan sebagai insektisida adalah rotenon.

2.4. Pestisida Nabati
         Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Pestisida nabati sudah dipraktikkan 3 abad yang lalu. Pada tahun 1690, petani di Perancis telah menggunakan perasan daun tembakau untuk mengendalikan hama kepik pada tanaman buah persik. Tahun 1800, bubuk tanaman pirethrum digunakan untuk mengendalikan kutu. Penggunaan pestisida nabati selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan pestisida kimia (Sudarmo, 2005).
Menurut Kardinan (2002), jenis pestisida nabati bersifat mudah terurai di alam karena terbuat dari bahan alami. Pestisida nabati bersifat pukul dan lari, yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh hama secara bertahap dan setelah terbunuh maka residunya cepat menghilang di alam jadi tanaman akan terbebas dari paparan residu pestisida sehingga tanaman aman untuk dikonsumsi.
Sudarmo (2005) menyatakan bahwa pestisida nabati dapat membunuh atau mengganggu serangga hama dan penyakit melalui cara kerja yang unik yaitu dapat melalui perpaduan berbagai cara atau secara tunggal. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik yaitu :
1.    Merusak perkembangan telur, larva dan pupa
2.    Menghambat pergantian kulit
3.    Mengganggu komunikasi serangga
4.    Menyebabkan serangga menolak makan
5.    Menghambat reproduksi serangga betina
6.    Mengurangi nafsu makan
7.    Memblokir kemampuan makan serangga
8.    Mengusir serangga (repellent)
9.    Menghambat perkembangan patogen penyakit
Penggunaan ekstrak tumbuhan sebagai salah satu sumber pestisida nabati didasarkan atas pemikiran bahwa terdapat mekanisme pertahanan dari tumbuhan. Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan yaitu senyawa metabolik sekunder yang bersifat penolak (repellent), penghambat makan (antifeedant), penghambat perkembangan dan penghambat peneluran (oviposition repellent) dan sebagai bahan kimia yang mematikan serangga dengan cepat (Prijono, 1999 dalam Hasnah dan Nasril, 2009).  

III.   BAHAN DAN METODE
3.1.   Tempat dan Waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan pada Bulan Juni sampai Agustus 2015. Perbanyakan ulat grayak dan pembuatan ekstrak biji mahoni serta aplikasi ekstrak biji mahoni dilakukan di Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Riau.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji mahoni sebagai sumber ekstrak, ulat grayak instar 3, daun Acacia crassicarpa sebagai pakan, deterjen dan aquades steril. Alat-alat yang digunakan untuk mengekstraksi biji mahoni antara lain, yaitu: blender, saringan 50 mess, toples plastik, gelas beker, kertas label, timbangan analitik, pinset, batang pengaduk, Termohygrometer, tisu gulung, kamera dan alat-alat tulis.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dengan 4 ulangan sehingga terdapat 16 unit percobaan (Lampiran 1). Setiap unit percobaan terdiri dari 10 ekor hama ulat grayak instar 3. Pada penelitian ini digunakan 4 perlakuan dengan komposisi larutan pestisida nabati pada beberapa tingkat konsentrasi yaitu:
T0  =  Konsentrasi ekstrak biji mahoni   0 g/ liter air
T1  =  Konsentrasi ekstrak biji mahoni 10 g/ liter air
T2  =  Konsentrasi ekstrak biji mahoni 20 g/ liter air
T3  =  Konsentrasi ekstrak biji mahoni 30 g/ liter air            
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara statistik menggunakan sidik ragam. Model linear yang digunakan sebagai berikut:
Yij = µ + Ʈi + ɛij
Keterangan :
Yij    =  Nilai pengamatan pada suatu unit percobaan pada perlakuan ke-i yang mendapat ulangan ke-j
µ      =   Nilai tengah umum
Ʈi       =   Pengaruh dari pemberian ekstrak biji mahoni ke-i
ɛij      =   Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j     
Data yang diperoleh kemudian dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5%. Data yang diperoleh dari mortalitas harian dianalisis secara analisis deskriptif dan ditampilkan dalam gambar (diagram batang).
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1.  Perbanyakan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)
Telur hama ulat grayak diperoleh dari pembibitan Acacia crassicarpa di Kerinci Central Nursery (Lampiran 2.a) Kabupaten Pelalawan dan dibawa ke Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Riau. Telur tersebut dimasukkan ke dalam toples plastik. Bagian atas toples diberi lubang ventilasi dan ditutup kain kasa. Telur dipelihara hingga menetas menjadi larva dan dipelihara sampai fase larva instar 3. Selama dalam pemeliharaan, hama diberi pakan daun Acacia crassicarpa. Pakan tersebut diganti setiap hari selama pemeliharaan, wadah pemeliharaan dibersihkan dari kotoran ulat setiap hari selama pemeliharaan.
3.4.2.  Pembuatan Ekstrak Biji Mahoni
Cara pembuatan ekstrak biji mahoni yaitu biji mahoni dibersihkan dari kulit buah dan kotoran lain kemudian biji mahoni dihaluskan menggunakan blender (Lampiran 2.b). Biji mahoni selanjutnya ditimbang menggunakan timbangan analitik sesuai perlakuan kemudian ditambahkan aquades steril dan direndam selama 12 jam. Setelah itu ekstrak yang terkumpul disaring untuk menghilangkan padatan yang masih tercampur sehingga menghasilkan ekstrak biji mahoni.

3.4.3.  Aplikasi Larutan Ekstrak Biji Mahoni
Setiap perlakuan diaplikasikan dengan menggunakan metode celup pakan.  Pencelupan daun (pakan) dilakukan dalam suatu wadah yang terbuat dari toples plastik, sebelum pengaplikasian pestisida ekstrak biji mahoni ditambah bahan pelarut berupa deterjen dengan konsentrasi 2 ml (Lampiran 2.c). Kemudian daun Acacia crassicarpa yang digunakan sebagai pakan dicelup selama 1 menit dan dikeringanginkan. Setelah dikeringanginkan daun Acacia crassicarpa diletakkan pada wadah plastik sebanyak 10 lembar daun kemudian masukkan ulat grayak sebanyak 10 ekor, setelah itu ditutup dan diberi label yang berisi keterangan tanggal aplikasi dan konsentrasi perlakuan ekstrak biji mahoni.

3.5. Pengamatan
3.5.1.  Waktu Awal Kematian Serangga Uji (jam)
Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung waktu yang dibutuhkan untuk mematikan paling awal salah satu serangga uji. Pengamatan dilakukan 1 jam setelah aplikasi dan dilanjutkan setiap jamnya. Pengamatan dilakukan selama 72 jam.

3.5.2.  Lethal Time (LT 50)  (jam)
Pengamatan dilakukan setiap jam dengan cara menghitung waktu yang dibutuhkan dari perlakuan yang ada untuk mematikan 50% hama ulat grayak.
3.5.3. Mortalitas Harian (%)
Pengamatan dilakukan dengan menghitung ulat grayak yang mati setiap hari setelah diberikan perlakuan. Data disajikan secara deskriptif menggunakan tabel. Menurut Natawigena (1993), mortalitas harian dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan :
MH      =   Mortalitas harian
a        =   Jumlah populasi ulat grayak sebelum aplikasi
b        =   Jumlah populasi ulat grayak setelah aplikasi

3.5.4.  Mortalitas Total  (%)
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah total populasi ulat grayak yang mati diakhir pengamatan setelah diberi perlakuan. Mortalitas total hama dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Natawigena, 1993) :

Keterangan :
MT    =   Mortalitas total
a        =   Jumlah populasi ulat grayak mati
b        =   Jumlah ulat grayak uji sebelum aplikasi

Apabila tidak ada kematian pada serangga uji sampai akhir penelitian maka data yang diperoleh akan ditranformasikan. Tujuan utama dari transformasi data adalah untuk merubah skala pengukuran data asli menjadi bentuk lain sehingga data dapat memenuhi asumsi-asumsi yang mendasari analisis statistik.  Sebelum melakukan pengamatan penghitungan mortalitas pada kontrol yang disebabkan oleh faktor lain harus terlebih dahulu dikoreksi dengan rumus yaitu:

Keterangan:
x  =  Persentase serangga uji yang hidup pada kontrol
y  =  Persentase serangga uji yang hidup pada perlakuan

3.5.5. Suhu dan Kelembaban
Pengamatan suhu dan kelembaban ruangan dilakukan setiap harinya pada setiap pengamatan dengan menggunakan alat Termohygrometer. Data pengamatan disajikan dalam bentuk tabel dan diambil setiap harinya selama penelitian. Menurut Tjasyono (2004), suhu dan kelembaban rata-rata dihitung dengan persamaan berikut:
T  =
2T7+T13+T18
4
R 
2R7+R13+R18
4




T dan R          = Suhu harian rata-rata dan kelembaban harian rata-rata       
T7, T13, T18       = Pengamatan suhu udara jam 07.00, jam 13.00 dan jam 18.00 WIB
2R7, R13, R18    = Pengamatan kelembaban udara jam 07.00, jam 13.00 dan jam 18.00 WIB



IV.    HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Waktu Awal Kematian Serangga Uji
Hasil pengamatan awal kematian serangga uji setelah dianalisis dengan menggunakan sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berbagai konsentrasi ekstrak biji mahoni memberikan pengaruh nyata terhadap awal kematian ulat grayak pada setiap perlakuan (Lampiran 3.a). Hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata awal kematian ulat grayak setelah pemberian beberapa konsentrasi ekstrak biji mahoni (jam)
 Perlakuan ekstrak biji mahoni                                       Rata-rata waktu awal  kematian
                                                                                                   (jam)
             T3 (30 g/1 air)
             T2 (20 g/1 air)
             T1 (10 g/1 air)
             T0   (0 g/1 air)

                 2,75 a 
                 3,25 a
                 4,50 a
               72,00 b
Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%

Konsentrasi ekstrak biji mahoni yang lebih tinggi menunjukkan peningkatan kecepatan waktu dalam mematikan hama ulat grayak. Waktu rata-rata awal kematian ulat grayak pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni 30 g/1 air memberikan rata-rata waktu tercepat terhadap awal kematian yaitu 2,75 jam (2 jam 45 menit). Perlakuan ini berbeda tidak nyata dengan perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni 20 g/1 air dan 10 g/1 air yaitu masing-masing 3,25 jam (3 jam 15 menit) dan 4,50 jam (4 jam 30 menit).

4.2. Lethal Time (LT50)
Hasil pengamatan Lethal Time (LT50) setelah dianalisis menggunakan sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni memberikan pengaruh nyata terhadap waktu yang dibutuhkan ekstrak biji mahoni untuk mematikan 50% ulat grayak (Lampiran 3.b) dan hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata LT50 dengan perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak biji   mahoni (jam)
  Perlakuan ekstrak biji mahoni                                            Rata-rata lethal time 50% 
                                                                                           (jam)
             T3 (30 g/1 air)
             T2 (20 g/1 air)
             T1 (10 g/1 air)
             T0   (0 g/1 air)

18,00  a
24,50 ab
55,50 bc
72,00  c
Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama berbeda nyata setelah ditransformasi Arc Sin  menurut uji DNMRT pada taraf 5%

Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni pada konsentrasi 0 g/l air berbeda nyata dengan konsentrasi 20 g/l air dan 30 g/l air namun berbeda tidak nyata dengan konsentrasi ekstrak biji mahoni 10 g/l air. Konsentrasi ekstrak biji mahoni yang lebih tinggi menunjukkan peningkatan kecepatan waktu dalam mematikan hama ulat grayak. Data di atas menunjukkan bahwa aplikasi beberapa konsentrasi ekstrak biji mahoni telah menyebabkan nilai LT50 pada ulat grayak dengan kisaran 18,00-72,00 jam.

4.3. Mortalitas Harian
Perhitungan mortalitas harian adalah pengamatan yang dilakukan dengan menghitung ulat grayak yang mati setiap hari setelah diberi perlakuan. Hasil pengamatan terhadap mortalitas harian larva ulat grayak instar 3 dengan perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak biji mahoni yang berbeda menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni bersifat toksik terhadap larva ulat grayak.

Penggunaan ekstrak biji mahoni memberikan fluktuasi kematian serangga uji yang berbeda dari setiap perlakuan. Hari pertama semua perlakuan telah mampu mematikan larva ulat grayak instar 3 pada kisaran 37,5-55% kecuali pada perlakuan 0 g/l air. Mortalitas pada hari pertama setelah aplikasi terlihat bahwa pada perlakuan 30 g/l air telah mencapai puncak dengan persentase 55%. Penyebab terjadinya perbedaan mortalitas harian ini diduga disebabkan kandungan senyawa aktif di dalam larutan ekstrak biji mahoni pada setiap perlakuannya. Senyawa-senyawa aktif seperti rotenoid yang merupakan racun penghambat metabolisme dan sistem saraf yang bekerja perlahan. Serangga yang mati diakibatkan karena kelaparan akibat kelumpuhan pada alat mulutnya (Siregar dkk, 2006).

4.4. Mortalitas Total
Perhitungan mortalitas total merupakan pengamatan yang dilakukan dengan menghitung jumlah total populasi ulat grayak yang mati diakhir pengamatan setelah diberi perlakuan. Hasil pengamatan mortalitas total ulat grayak setelah dianalisis menggunakan sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni memberikan pengaruh nyata terhadap mortalitas total ulat grayak (Lampiran 3.c) dan hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata mortalitas total ulat grayak dengan pemberian beberapa konsentrasi ekstrak biji mahoni (%)
      Perlakuan ekstrak biji mahoni                                                  Mortalitas total  (%)                                             
             T3 (30 g/1 air)
             T2 (20 g/1 air)
             T1 (10 g/1 air)
             T0   (0 g/1 air)

  72,50 a
 57,50 ab  
   47,50 b
     0,00 c  
Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama berbeda nyata setelah ditransformasi Arc Sin  menurut uji DNMRT pada taraf 5%

Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak biji mahoni yang diberikan maka persentase mortalitas total ulat grayak mengalami peningkatan. Pada perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni 0 g/l air tidak terjadi kematian serangga uji sampai akhir pengamatan. Pada pemberian perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni 10 g/l air mortalitas serangga uji mengalami peningkatan yakni sebesar 47,50% dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni 20 g/l air. Pada peningkatan konsentrasi ekstrak biji mahoni menjadi 20 g/l air dapat meningkatkan kematian serangga uji ulat grayak sebesar 57,50%. Pada peningkatan konsentrasi ekstrak biji mahoni 30 g/l air persentase mortalitas total mengalami peningkatan yaitu sebesar 72,50%. Peningkatan konsentrasi ekstrak biji mahoni akan meningkatkan mortalitas ulat grayak, hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Dewi (2010) bahwa konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi maka pengaruh yang ditimbulkan semakin tinggi.
V.  KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1.    Pestisida nabati dari ekstrak biji mahoni memiliki potensi untuk mengendalikan hama ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada pembibitan Acacia crassicarpa.
2.    Konsentrasi ekstrak biji mahoni 30 g/l air merupakan konsentrasi yang terbaik dalam mengendalikan hama ulat grayak dengan hasil waktu awal kematian serangga uji tercepat yaitu 2,75 jam (2 jam 45 menit), waktu tercepat mematikan 50% (LT50) ulat grayak yaitu 18,00 jam dan mortalitas total sebesar 72,50%.
5.2. Saran
Penggunaan pestisida nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif akibat penggunaan insektisida sintetik yang tidak bijaksana. Pemanfaatan ekstrak biji mahoni sebagai pestisida nabati pada konsentrasi 30 g/l air direkomendasikan dalam mengendalikan hama ulat grayak (Spodoptera litura F.). Selain itu perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang cara dan frekuensi pengaplikasian ekstrak biji mahoni di lapangan agar tercapai pengendalian yang optimal.


DAFTAR PUSTAKA
Budianto, F dan Tukiran. 2012. Bioinsektisida dari Tumbuhan Bakau Merah (Rhizhopora stylosa Griff.) (Rhizophoraceae). http://ejournal. unesa.ac.id/index.php/unesa-journal-of-chemistry/article/view/122/59. Diunduh tanggal 05 September  2015.

Dadang dan Ohsawa, K. 2000. Penghambatan Aktivitas Makan Larva Plutella xylostella L. (Lepidoptera:Yponomeutidae) yang Diperlakukan Ektrak Biji Swietenia mahogani Jacq. (Meliaceae). Bul HPT 12 : 27-32.

Darmayanti, I. 2014. Uji Beberapa Konsentrasi Ekstrak Daun Sirih Hutan (Piper aduncum L.) untuk Mengendalikan Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera:Noctuidae) pada Tanaman Kedelai. Jurusan Agroteknologi. Fakultas Pertanian Universitas Riau. Pekanbaru.

Darwiati, W. 2012. Pestisida Nabati untuk Pengendalian dan Pencegahan Hama Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Kampus Balitbang Kehutanan. Mitra Hutan Tanaman. Vol.7 No.1, April 2012, 1-9.

Dewi, R.S. 2010. Keefektifan Ekstrak Tiga Jenis Tumbuhan terhadap Paracoccus marginatus dan Tetranychus sp. pada Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Tesis Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Doran, J.C dan Turnbull, J.W.  1997.  Australian Trees and Shrubs: Species for Land Rehabilitation and Farm Planting in the Tropics. Canberra. Australian Centre for International Agricultural Research.

Fitriani, U., Melina., Gassa, A. 2011. Kemampuan Memangsa Euborellia annulata (Dermaptera:Anisolabididae) dan Preferensi pada Berbagai Instar Larva Spodoptera litura. Universitas Hasanuddin. Makasar.

Golani, G.D., Tjahjono, B., Gafur, A., Tarigan, M. 2007. Acacia Pest and Diseases, Diagnose and Control. Second Edition. APRIL Forestry Research and  Development.

Hasnah dan Nasril. 2009. Efektivitas Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) terhadap Mortalitas  Plutella xylostella L. pada Tanaman  Sawi. Fakultas Pertanian Unsyiah, Darussalam Banda Aceh.  J. Floratek 4 : 29-40.
Herminanto, W dan Topo, S. 2004. Potensi Ekstrak Biji Srikaya (Annona squamosa L.) untuk Mengendalikan Ulat Krop Kubis (Crocidolomia pavonana F.) http://pertanian.uns.ac.id/~agronomi/ agrosains/vol%2061/Potensi%20Ekstrak%20Biji%20Srikaya%20%28Annona%20squamosa%20L.pdf. Diunduh tanggal 31 Agustus 2015.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Revised and Translated by Van der Laan. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta

Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati. Penebar Swadaya. Jakarta.

Khaeruddin. 1999. Pembibitan Tanaman HTI. Penebar Swadaya. Jakarta.

Lembaga Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2010. Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan. Balai Pustaka. Jakarta.

Midgley, S. 2000. Acacia crassicarpa; A Tree in the Domestication Fast Lane. Australian Tree Resource News number 6, October 2000. www. Acaciaworld.net/html/indonesia.html. Diakses tanggal 05 September 2015.

Natawigena, H. 1993. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Trigenda Karya. Bandung.

Orwa, et al. 2009. Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth. Fabaceae-Mimosoideae. Agroforestry Database 4.0 http://world agroforestry.org/ treedb/AFTPDFS/Acacia_crassicarpa.PDF. Diunduh tanggal 05 September 2015.

Prakash, A and Rao, J. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. New York.

Priyono, D. 1994. Pengaruh Ekstrak Mimba terhadap Perkembangan dan Mortalitas Crocidolomia binotalis. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida nabati. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.

Prijono, D. 1998. Insecticidal Activity of Meliaceous Seed  Extract againt Cabbage Head  Caterpillar, Crocidolomia binotalis Zeller. (Lepidoptera:Pyralidae). Bul HPT 10 (1) : 1-6.

Rahayu, M. 2009. Efek Ekstrak Daun Legundi (Vitex Trifolia) terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura). WARTA-WIPTEK,  Volume 17 Nomor : 01 Januari 2009, ISSN 0854-0667.

Reddy, B.K., Balaji, M., Reddy, P.U., Salaja, G.,Vaidyanath, K., Narasimha, G. 2009. Antifeedant and Antimicrobial Activity of Tylophora indica. http://www.academicjournals.org/ajbr/pdf/Pdf2009/Dec/Reddy%20et%20al.pdf. Diunduh tanggal 05 September 2015.

Rusdy, A. 2009. Efektivitas Ekstrak Nimba dalam Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada  Tanaman Selada. Fakultas Pertanian Unsyiah, Darussalam Banda Aceh. J. Floratek 4 : 41-54.

Sastrodihardjo, S. 1999. Arah Pengembangan dan Strategi Penggunaan Pestisida Nabati. Makalah pada Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.

Setyowati, D. 2004. Pengaruh Macam Pestisida Organik dan Interval Penyemprotan terhadap Populasi Hama Thrips, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabai (Capsicum annum L.).

Sianturi, A.H.M. 2001. Isolasi dan Fraksinasi Senyawa Bioaktif dari Biji Swietenia mahagoni L. Jacq. Bogor : IPB.

Siregar, B.A., Didiet, R.D., Herma, A. 2006. Potensi Ekstrak Biji Mahoni (Swietenia macrophylla) dan Akar Tuba (Derris elliptica) sebagai Bioinsektisida untuk Pengendalian Hama Caisin. http://studentresearch.umm.ac.id/index.php/pimnas/article/viewfile/115/489ummstudentresearch.pdf. Diunduh tanggal 05 September 2015.

Soenandar, M. 2010. Petunjuk Praktis Membuat Pestisida Organik. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Sudarmo, S. 2005. Pestisida Nabati. Penerbit Kanisius. Jakarta.

Sutarni, M.S. 1995. Flora Eksotika Tanaman Peneduh. Penerbit Kanisius. Jakarta.

Tenrirawe, A dan Talanca, A.H. 2008. Bioekologi dan Pengendalian Hama dan Penyakit Utama Kacang Tanah. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan 464-471.

Thomson, L.A.J. 1994. Acacia aulacocarpa, A. cincinnata, A. crassicarpa and A. wetarensis : An Annotated Bibliography. CSIRO Division of Forestry. Australian Tree Seed Centre. Canbera. Australia.

Tjasyono, B. H.K. 2004. Klimatologi. ITB Press. Bandung.

Umiati dan Nuryanti. 2014. Beberapa Pestisida Nabati yang Dapat Digunakan untuk Mengendalikan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada Tanaman Tembakau. http://ditjenbun.pertanian.go.id/ Diakses pada 09 April 2015.

Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Yuliastuti, D.S dan Surip. 2009. Teknik Pembuatan Bibit Acacia crassicarpa untuk Pembangunan Kebun Benih Semai Uji Keturunan  Generasi ke-Dua (F-2). Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta.

Zahroh, N.F. 2012. Pengaruh Iklim terhadap Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricius.) pada Tanaman Kacang Kedelai (Glycine max (L.) Merill). Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA. IPB. https://nyayufatimahzahroh.wordpress.com/2012/06/23/pengaruh-iklim-ter hadap-hama-ulat-grayak-spodoptera-litura-fabricius-pada-tanaman-kacang -kedelai-glycine-max-l-merill/ Diakses tanggal 06 September 2015.








1 comment:

Baraksamedia said...

Keren ya ternyata banyak manfaat biji mahoni selain pupuk bisa juga jadi antidiabetes loh https://unair.ac.id/ekstrak-etanol-biji-mahoni-memiliki-efek-antidiabetes/