PEMANFAATAN EKSTRAK
BIJI MAHONI SEBAGAI PESTISIDA NABATI UNTUK MENGENDALIKAN
HAMA ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) PADA
PEMBIBITAN Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth.
Oleh :
RIO RUSANDI
1106121095
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Acacia crassicarpa merupakan
salah satu jenis tanaman yang dikembangkan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI).
Tanaman ini memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat (fast growing species) yang sangat adaptif dan
toleran terhadap kondisi lingkungan yang cukup ekstrim. Jenis ini tidak menuntut persyaratan tumbuh yang tinggi dan dapat
tumbuh pada lahan yang miskin hara (marginal),
tanah berbatu serta tanah yang telah terdegradasi. Jenis ini juga mampu tumbuh
dengan baik pada tanah yang basah (rawa dan lahan yang terendam secara berkala)
dengan kandungan bahan organik yang tinggi dan pH rendah yaitu 3,5-6 (Thomson,
1994).
Pembibitan
Acacia
crassicarpa merupakan suatu hamparan tanaman sejenis yang
dikembangkan secara generatif dan vegetatif yang sangat rentan terserang hama
pengganggu tanaman. Salah satu hama yang sering menyerang pada tanaman muda di
pembibitan yaitu serangan hama ulat grayak (Spodoptera litura F.). Ulat
grayak dikenal sebagai hama
yang sangat merusak. Menurut Golani dkk (2007), kerusakan yang ditimbulkan oleh
ulat ini biasanya menyerang daun dan menyebabkan kerusakan yang berbeda jenis
dan levelnya, sebagian aktif pada malam hari, sebagian besar ulat bersifat
polifagus dan umumnya ulat ini bersifat sporadis dan musiman serta sebagian
lain menyerang dalam jangka waktu yang lama.
Upaya pengendalian hama
penganggu tanaman seperti hama ulat grayak umumnya hama ulat ini dikendalikan
dengan menggunakan pestisida kimia. Kelebihan dari pestisida kimia yaitu hama
yang dikendalikan akan langsung mati, jika dibandingkan dengan penggunaan
pestisida nabati, penurunan populasi hama akan bertahap. Pestisida nabati biasanya bersifat mudah terurai (biodegradable) sehingga tidak mencemari
lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak karena residu cepat hilang.
Oleh karena itu dikatakan pestisida nabati bersifat pukul dan lari, yaitu
apabila dipakai akan membunuh hama secara bertahap dan setelah mati residunya
akan cepat menghilang (Kardinan, 1999 dalam
Darwiati, 2012).
Perkembangan
ilmu teknologi dalam upaya pengendalian hama pengganggu tanaman sangat pesat. Penggunaan
pestisida kimia umumnya menjadi alternatif untuk mengendalikan hama pengganggu
tanaman. Menurut Sastrodihardjo (1999), penggunaan
pestisida kimia di Indonesia telah memusnahkan sekitar 55% jenis hama dan 72%
agen pengendali hayati. Penggunaan pestisida kimia yang tidak bijaksana akan
mengakibatkan dampak negatif, seperti timbulnya hama yang resisten, resurgensi hama,
terbunuhnya musuh alami dan organisme bukan sasaran, masalah residu serta
pencemaran lingkungan (Untung, 1993). Oleh karena itu, perlu alternatif
pengendalian lain yang ramah lingkungan.
Dalam 30 tahun terakhir,
tidak kurang dari 1500 tumbuhan telah dilaporkan aktif terhadap serangga. Laporan
aktivitas insektisida paling sering melibatkan jenis-jenis tumbuhan dari famili
Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae,
Piperaceae dan Rutaceae (Prakash
dan Rao, 1997). Beberapa jenis tumbuhan penghasil pestisida yang telah diteliti
dan terbukti efektif dalam pengendalian hama, salah satunya adalah mahoni (Sastrodihardjo, 1999).
Pestisida dari tanaman mahoni
umumnya bersifat racun yang bekerja lambat serta memiliki efek penghambat makan
dan menghambat perkembangan (Prijono, 1998). Masing-masing bagian tanaman
mahoni mengandung senyawa yang berbeda-beda, pada kulit batang mengandung
senyawa triterpenoid, sedangkan biji mahoni mengandung senyawa flavonoid dan saponin. Salah satu senyawa flavonoid yang dapat berperan sebagai
insektisida adalah rotenon (Sianturi, 2001).
Penelitian genus Swietenia sekarang
ini semakin berkembang. Dadang dan Ohsawa (2000) melaporkan ekstrak biji mahoni pada konsentrasi
5% dapat memberi penghambatan makan 100% larva P.xylostella. Menurut
Prijono (1998), ekstrak biji mahoni pada konsentrasi 0.25% dapat menyebabkan
kematian larva C. pavonana 10.4% pada instar 2 dan 43.7% pada instar 2-3
dengan residu pada daun brokoli yang dipaparkan selama dua hari.
Sehubungan dengan berkembangnya pemanfaatan
biji mahoni dalam menekan populasi hama pengganggu tanaman dan melihat potensi
biji mahoni yang ada, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian tentang
“Pemanfaatan
ekstrak biji mahoni sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama ulat
grayak (Spodoptera litura F.) pada
pembibitan Acacia
crassicarpa A. Cunn. ex Benth.”.
1.2. Perumusan Masalah
Salah satu masalah yang terjadi pada
pembibitan Acacia crassicarpa yaitu serangan hama ulat grayak umumnya pengendalian hama
tersebut menggunakan pestisida kimia. Penggunaan
pestisida kimia mengakibatkan dampak negatif, seperti timbulnya hama yang
resisten, resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami dan organisme bukan sasaran,
masalah residu serta pencemaran lingkungan. Oleh
karena itu, perlu adanya alternatif pengendalian lain yang ramah lingkungan.
Pemanfaatan ekstrak biji mahoni sebagai pestisida nabati untuk
pengendalian serangan hama ulat grayak pada pembibitan Acacia crassicarpa adalah alternatif yang dapat digunakan sebagai
pestisida yang ramah lingkungan.
1.3. Tujuan
Penelitian
1.
Mengetahui potensi
ekstrak biji mahoni dalam mengendalikan hama ulat grayak pada pembibitan Acacia crassicarpa.
2.
Mengetahui
konsentrasi yang tepat terhadap tingkat mortalitas hama ulat grayak pada
pembibitan Acacia
crassicarpa.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat
yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu memberikan informasi tentang pestisida
nabati dari ekstrak biji mahoni yang efektif dalam pengendalian hama ulat
grayak pada pembibitan Acacia crassicarpa yang
ramah lingkungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Acacia
crassicarpa A. Cunn. ex Benth.
Acacia crassicarpa
merupakan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh
(fast growing species)
yang sangat adaptif dan toleran terhadap kondisi lingkungan yang cukup
ekstrim. Jenis ini tidak menuntut persyaratan tumbuh yang tinggi dan dapat
tumbuh pada lahan yang miskin hara (marginal),
tanah berbatu serta tanah yang telah terdegradasi. Jenis ini juga mampu tumbuh
dengan baik pada tanah yang basah (rawa dan lahan yang terendam secara berkala)
dengan kandungan bahan organik yang tinggi dan pH rendah yaitu 3,5-6 (Thomson,
1994).
Klasifikasi
Acacia crassicarpa dalam taksonomi
tumbuhan yaitu sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Acacia
Spesies : Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth.
Menurut
Doran dan Turnbull (1997), Acacia
crassicarpa termasuk pohon yang dapat mencapai tinggi 20 m, tetapi terkadang
juga dapat mencapai tinggi 30 m. Acacia crassicarpa tumbuh pada
ketinggian 5-200 mdpl, di dekat laut tumbuh pada ketinggian 450 mdpl dengan curah
hujan 1000-3500 mm/tahun. Jenis ini banyak ditemukan di daerah humid dan sub
humid yang mempunyai suhu maksimum rata-rata 32ºC-34ºC, suhu minimum rata-rata
12ºC-21ºC dan suhu harian maksimum 32ºC.
Menurut
Midgley (2000), Acacia crassicarpa termasuk
jenis intoleran, sehingga sesuai pada areal yang terbuka.
Riap diameter dapat mencapai 2,5-3,5 cm/tahun dengan berat jenis kayu
yang tergolong sedang (0,48-0,55). Kayunya dapat dimanfaatkan sebagai penghasil pulp dan kertas. Pada lahan basah (wet land), meski riapnya
lebih rendah dari Acacia mangium (dry land), jenis ini mempunyai basic wood
density yang lebih tinggi dan pulp yield yang sama sehingga hasil pulp perhektarnya masih cukup memadai.
Acacia crassicarpa mempunyai
banyak kelebihan sehingga dikembangkan dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri
(HTI) baik pada lahan kering maupun
lahan-lahan basah. Kemampuan Acacia crassicarpa menekan
gulma dan kandungan nodul rhizobium-nya yang melimpah, menjadikan jenis
ini cukup sesuai bagi kepentingan kehutanan lainnya seperti dalam rehabilitasi
hutan dan lahan (Yuliastuti dan
Surip, 2009).
Acacia
crassicarpa memiliki serat kayu yang sangat baik terutama sebagai bahan baku pulp, produktivitas pulp mencapai 300 kg/m3. Karakteristik kayu gubal Acacia
crassicarpa berwarna coklat-kekuningan dan kayu batang coklat keemasan. Acacia
crassicarpa memiliki kayu yang kuat dan tahan lama dengan kepadatan 670-710 kg/m3.
Sangat cocok untuk berbagai macam kayu gergajian termasuk struktural ringan dan
tujuan dekoratif. Contohnya sebagai konstruksi, furnitur, lantai, papan dan
bangunan kapal. Acacia crassicarpa juga ditanam sebagai tanaman reklamasi. Acacia crassicarpa dapat ditanam untuk pengendalian gulma dan sering dijadikan sebagai spesies
yang efektif untuk rehabilitasi tanah yang penuh dengan tumbuhan ilalang (Imperata cylindrica). Di Papua Nugini,
dilaporkan menjadi penjajah yang sangat kuat dalam mendegradasi tanah perladangan.
Meskipun cocok untuk tanaman reklamasi, Acacia crassicarpa terlalu kompetitif untuk tumbuh dan dikombinasi dengan tanaman tahunan (Orwa, et al. 2009).
2.2. Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)
Ulat grayak termasuk
dalam ordo Lepidoptera merupakan hama yang menyebabkan kerusakan yang serius
pada tanaman budidaya di daerah tropis dan sub tropis (Haryanti, 2006 dalam Rusdy, 2009).
Klasifikasi hama
ulat grayak menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut :
Kingdom :
Animalia
Divisi
: Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili :
Noctuidae
Genus : Spodoptera
Spesies : Spodoptera
litura F.
Siklus hidup ulat
grayak berlangsung selama 1 bulan. Stadia
telur berlangsung selama 3 hari, masa
stadia larva berlangsung selama 15-30 hari (Rahayu, 2009). Setelah
cukup dewasa, yaitu lebih kurang berumur 2 minggu, ulat mulai berkepompong, masa
pupa berlangsung di dalam tanah dan dibungkus dengan tanah, masa imago ulat grayak memiliki umur yang
singkat (Kalshoven, 1981). Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian
datar melekat pada daun (kadang tersusun 2 lapis), warna coklat
kekuning-kuningan, berkelompok masing-masing berisi 25-500 butir tertutup bulu
seperti beludru (Tenrirawe dan Talanca, 2008). Ulat grayak aktif makan
pada malam hari, meninggalkan epidermis atas dan tulang daun yang terserang
berwarna putih, panjang ulat stadia dewasa 50 mm (Litbang Deptan, 2010).
Kerusakan yang ditimbulkan oleh
ulat ini biasanya menyerang daun dan menyebabkan kerusakan yang berbeda jenis
dan levelnya. Sebagian aktif pada malam hari, sebagian besar ulat bersifat
polifagus dan umumnya ulat ini bersifat sporadis dan musiman serta sebagian
lain menyerang dalam jangka waktu yang lama. Pengendalian terpadu yang dapat
dilakukan pada persemaian dapat dilakukan dengan penyemprotan insektisida
sistemik dan kontak dapat diaplikasikan pada fase awal untuk meminimalkan
infestasi (Golani dkk, 2007).
Menurut Umiati dan Nuryanti (2014), stadia larva berkisar antara 15-30 hari. Pada
stadia larva mengalami 6 kali instar yaitu :
a.
Instar
1 : Warna tubuh hijau bening, panjang 2-2,74 mm, ditumbuhi bulu-bulu halus,
kepala warna hitam, lebar 0,2-0,3 mm.
b.
Instar
2 : Tubuh berwarna hijau panjang 3,75-10 mm, bulu-bulunya tidak dorsal terdapat
garis putih memanjang dari toraks hingga ujung abdomen. Pada ruas abdomen
pertama terdapat garis hitam melingkar.
c.
Instar
3 : Panjang tubuh 8-15 mm, lebar kepala 0,5-0,6 mm. Pada bagian kiri dan kanan
abdomen terdapat garis zig-zag berwarna putih dan bulatan-bulatan hitam sepanjang
tubuh.
d. Instar 4, 5 dan 6 : Ketiga instar ini agak
sulit dibedakan. Panjang tubuh 13-20 mm, untuk larva instar 4, instar 5 : 25-35
mm dan instar 6 : 35-50 mm. Pada bagian
kiri dan kanan tubuhnya terdapat gambar berbentuk setengah lingkaran. Mulai instar 4, warna tubuh larva bervariasi yaitu
hitam, hijau keputihan, hijau kekuningan atau hijau keputihan, hijau kekuningan
atau hijau keunguan.
2.3. Mahoni (Swietenia
mahagoni Jacq.)
Mahoni dalam klasifikasinya
termasuk famili Meliaceae. Ada 2 spesies yang cukup
dikenal yaitu: S. macrophyla (mahoni daun lebar) dan S. mahagoni (mahoni
daun sempit) (Khaeruddin, 1999).
Menurut
Khaeruddin (1999) tanaman mahoni tersusun dalam sistematika sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledone
Ordo : Rotales
Genus
: Swietenia
Spesies
: Swietenia
mahagoni Jacq.
Tanaman mahoni yang digunakan sebagai bahan pestisida
alami adalah jenis mahoni S. mahagoni. Buah tanaman mahoni terlihat
muncul di ujung-ujung ranting berwarna coklat dan termasuk jenis tanaman pohon
tinggi sekitar 10-30 m, percabangannya banyak, daun majemuk menyirip genap,
duduk daun tersebar. Helaian anak daun bulat telur, elips memanjang, ujung daun
dan pangkal daun runcing panjangnya sekitar 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat
telur memanjang berwarna coklat panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni
dapat tumbuh dengan baik di tempat yang terbuka dan terkena cahaya matahari
secara langsung, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, yaitu dengan
ketinggian 1000 mdpl (Sutarni, 1995).
2.3.1. Kandungan Biji Mahoni
Biji mahoni mengandung senyawa flavonoid, saponin, alkaloid, steroid dan
terpenoid (Sianturi, 2001). Kelompok flavonoid yang bersifat insektisida alam
yang kuat adalah isoflavon. Isoflavon memiliki efek pada reproduksi, yaitu
antifertilitas. Senyawa flavonoid yang lain bekerja sebagai insektisida ialah
rotenon. Rotenoid merupakan racun penghambat metabolisme dan sistem saraf yang
bekerja perlahan. Serangga yang mati diakibatkan karena kelaparan akibat
kelumpuhan pada alat mulutnya (Siregar dkk, 2006). Saponin menunjukkan aksi
sebagai racun yang dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah (Sianturi,
2001). Pada biji mahoni juga terdapat senyawa sweitenin yang termasuk senyawa
limonoid yang bersifat sebagai antifeedant
dan penghambat pertumbuhan (Dadang dan Ohsawa, 2000).
Biji mahoni juga mengandung senyawa yang mirip dengan Butane Hexane Chlor (BHC) dengan
konsentrasi 0,005 ppm. Senyawa BHC atau yang dikenal sekarang Hexa Chlorosiclo Hexana (HCH) merupakan
insektisida organo klorida yang bersifat racun perut dan racun pernapasan (Sastrodihardjo, 1999). Menurut Sianturi (2001), masing-masing bagian tanaman mahoni mengandung
senyawa yang berbeda-beda, pada kulit batang mengandung senyawa triterpenoid, sedangkan
biji mahoni mengandung senyawa flavonoid dan saponin.
Salah satu senyawa flavonoid yang dapat berperan sebagai insektisida adalah
rotenon.
2.4.
Pestisida Nabati
Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari
tumbuhan. Pestisida nabati sudah dipraktikkan 3 abad yang lalu. Pada tahun
1690, petani di Perancis telah menggunakan perasan daun tembakau untuk
mengendalikan hama kepik pada tanaman buah persik. Tahun 1800, bubuk tanaman
pirethrum digunakan untuk mengendalikan kutu. Penggunaan pestisida nabati
selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya relatif lebih murah
apabila dibandingkan dengan pestisida kimia (Sudarmo, 2005).
Menurut Kardinan
(2002), jenis pestisida nabati bersifat mudah terurai di alam karena terbuat
dari bahan alami. Pestisida nabati bersifat pukul dan lari, yaitu apabila
diaplikasikan akan membunuh hama secara bertahap dan setelah terbunuh maka
residunya cepat menghilang di alam jadi tanaman akan terbebas dari paparan
residu pestisida sehingga tanaman aman untuk dikonsumsi.
Sudarmo (2005)
menyatakan bahwa pestisida nabati dapat membunuh atau mengganggu serangga hama
dan penyakit melalui cara kerja yang unik yaitu dapat melalui perpaduan
berbagai cara atau secara tunggal. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik
yaitu :
1. Merusak perkembangan telur, larva dan pupa
2. Menghambat pergantian kulit
3. Mengganggu komunikasi serangga
4. Menyebabkan serangga menolak makan
5. Menghambat reproduksi serangga betina
6. Mengurangi nafsu makan
7. Memblokir kemampuan makan serangga
8. Mengusir serangga (repellent)
9. Menghambat perkembangan patogen penyakit
Penggunaan ekstrak tumbuhan sebagai salah satu sumber
pestisida nabati didasarkan atas pemikiran bahwa terdapat mekanisme pertahanan
dari tumbuhan. Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan yaitu senyawa
metabolik sekunder yang bersifat penolak (repellent), penghambat makan (antifeedant),
penghambat perkembangan dan penghambat peneluran (oviposition repellent) dan sebagai bahan kimia yang
mematikan serangga dengan cepat (Prijono, 1999 dalam Hasnah dan Nasril, 2009).
III. BAHAN DAN METODE
3.1.
Tempat
dan Waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan pada Bulan Juni sampai
Agustus 2015. Perbanyakan ulat grayak dan pembuatan ekstrak biji mahoni serta
aplikasi ekstrak biji mahoni dilakukan di Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas
Pertanian Universitas Riau.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji mahoni
sebagai sumber ekstrak, ulat grayak instar 3, daun Acacia crassicarpa sebagai pakan, deterjen dan aquades steril. Alat-alat
yang digunakan untuk mengekstraksi biji mahoni antara lain, yaitu: blender,
saringan 50 mess, toples plastik, gelas beker, kertas label, timbangan
analitik, pinset, batang pengaduk, Termohygrometer,
tisu gulung, kamera dan alat-alat tulis.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4
perlakuan dengan 4 ulangan sehingga terdapat 16 unit percobaan (Lampiran 1). Setiap
unit percobaan terdiri dari 10 ekor hama ulat grayak instar 3. Pada penelitian
ini digunakan 4 perlakuan dengan komposisi larutan pestisida nabati pada beberapa
tingkat konsentrasi yaitu:
T0 = Konsentrasi
ekstrak biji mahoni 0 g/ liter air
T1 = Konsentrasi ekstrak biji mahoni 10 g/ liter
air
T2 = Konsentrasi ekstrak biji mahoni 20 g/ liter
air
T3 = Konsentrasi
ekstrak biji mahoni 30 g/ liter air
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara statistik
menggunakan sidik ragam. Model linear yang digunakan sebagai berikut:
Yij
= µ + Ʈi + ɛij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada suatu unit percobaan
pada perlakuan ke-i yang mendapat ulangan ke-j
µ = Nilai
tengah umum
Ʈi = Pengaruh
dari pemberian ekstrak biji mahoni ke-i
ɛij =
Pengaruh galat percobaan pada
perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Data yang diperoleh kemudian dilakukan uji lanjut dengan
menggunakan Duncan New Multiple Range
Test (DNMRT) pada taraf 5%. Data yang diperoleh dari mortalitas harian
dianalisis secara analisis deskriptif dan ditampilkan dalam gambar (diagram
batang).
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Perbanyakan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)
Telur hama
ulat grayak diperoleh dari pembibitan Acacia crassicarpa di
Kerinci Central Nursery (Lampiran 2.a) Kabupaten Pelalawan dan dibawa ke
Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Riau. Telur tersebut
dimasukkan ke dalam toples plastik. Bagian atas toples diberi lubang ventilasi
dan ditutup kain kasa. Telur dipelihara hingga menetas menjadi larva dan
dipelihara sampai fase larva instar 3. Selama dalam pemeliharaan, hama diberi
pakan daun Acacia crassicarpa. Pakan tersebut diganti setiap hari selama
pemeliharaan, wadah pemeliharaan dibersihkan dari kotoran ulat setiap hari
selama pemeliharaan.
3.4.2. Pembuatan Ekstrak Biji Mahoni
Cara pembuatan ekstrak biji mahoni yaitu biji mahoni
dibersihkan dari kulit buah dan kotoran lain kemudian biji mahoni dihaluskan
menggunakan blender (Lampiran 2.b). Biji mahoni selanjutnya ditimbang
menggunakan timbangan analitik sesuai perlakuan kemudian ditambahkan aquades
steril dan direndam selama 12 jam. Setelah itu ekstrak yang terkumpul disaring
untuk menghilangkan padatan yang masih tercampur sehingga menghasilkan ekstrak
biji mahoni.
3.4.3. Aplikasi
Larutan Ekstrak Biji Mahoni
Setiap perlakuan diaplikasikan dengan menggunakan metode
celup pakan. Pencelupan daun (pakan)
dilakukan dalam suatu wadah yang terbuat dari toples plastik, sebelum pengaplikasian
pestisida ekstrak biji mahoni ditambah bahan pelarut berupa deterjen dengan
konsentrasi 2 ml (Lampiran 2.c). Kemudian daun Acacia crassicarpa yang
digunakan sebagai pakan dicelup selama 1 menit dan dikeringanginkan. Setelah
dikeringanginkan daun Acacia
crassicarpa diletakkan pada wadah plastik sebanyak 10
lembar daun kemudian masukkan ulat grayak
sebanyak 10 ekor, setelah itu ditutup dan diberi
label yang berisi keterangan tanggal aplikasi dan konsentrasi perlakuan ekstrak
biji mahoni.
3.5. Pengamatan
3.5.1. Waktu Awal Kematian Serangga Uji (jam)
Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung waktu yang dibutuhkan untuk
mematikan paling awal salah satu serangga uji. Pengamatan dilakukan 1 jam
setelah aplikasi dan dilanjutkan setiap jamnya. Pengamatan dilakukan selama 72 jam.
3.5.2. Lethal Time (LT 50)
(jam)
Pengamatan dilakukan setiap jam dengan cara menghitung waktu yang dibutuhkan
dari perlakuan yang ada untuk mematikan 50% hama ulat grayak.
3.5.3. Mortalitas
Harian (%)
Pengamatan
dilakukan dengan menghitung ulat grayak yang mati setiap hari setelah diberikan
perlakuan. Data disajikan secara deskriptif menggunakan tabel. Menurut
Natawigena (1993), mortalitas harian dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
MH = Mortalitas
harian
a = Jumlah
populasi ulat grayak sebelum aplikasi
b = Jumlah populasi ulat grayak setelah aplikasi
3.5.4. Mortalitas
Total (%)
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah total
populasi ulat grayak yang mati diakhir pengamatan setelah diberi perlakuan. Mortalitas
total hama dapat dihitung
dengan menggunakan rumus (Natawigena, 1993) :
Keterangan :
MT =
Mortalitas total
a = Jumlah
populasi ulat grayak mati
b = Jumlah
ulat grayak uji sebelum aplikasi
Apabila tidak ada kematian pada serangga uji sampai akhir
penelitian maka data yang diperoleh akan ditranformasikan. Tujuan utama dari
transformasi data adalah untuk merubah skala pengukuran data asli menjadi
bentuk lain sehingga data dapat memenuhi asumsi-asumsi yang mendasari analisis
statistik. Sebelum melakukan pengamatan
penghitungan mortalitas pada kontrol yang disebabkan oleh faktor lain harus
terlebih dahulu dikoreksi dengan rumus yaitu:
Keterangan:
x =
Persentase serangga uji yang hidup pada kontrol
y =
Persentase serangga uji yang hidup pada perlakuan
3.5.5.
Suhu dan Kelembaban
Pengamatan suhu dan kelembaban ruangan dilakukan setiap
harinya pada setiap pengamatan dengan menggunakan alat Termohygrometer. Data pengamatan disajikan dalam bentuk tabel dan
diambil setiap harinya selama penelitian. Menurut Tjasyono (2004), suhu dan
kelembaban rata-rata dihitung dengan persamaan berikut:
2T7+T13+T18
|
|
4
|
2R7+R13+R18
|
|
4
|
T dan R
= Suhu
harian rata-rata dan kelembaban harian rata-rata
T7, T13,
T18 = Pengamatan suhu
udara jam 07.00, jam 13.00 dan jam 18.00 WIB
2R7,
R13, R18 =
Pengamatan kelembaban udara jam 07.00, jam 13.00 dan jam 18.00 WIB
IV. HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1. Waktu Awal Kematian Serangga Uji
Hasil
pengamatan awal kematian serangga uji setelah dianalisis dengan menggunakan
sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berbagai konsentrasi ekstrak biji
mahoni memberikan pengaruh nyata terhadap awal kematian ulat grayak pada setiap
perlakuan (Lampiran 3.a). Hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata awal kematian ulat grayak setelah
pemberian beberapa konsentrasi ekstrak biji mahoni (jam)
Perlakuan ekstrak biji mahoni Rata-rata waktu awal kematian
(jam)
|
||
T3 (30 g/1 air)
T2 (20 g/1 air)
T1 (10 g/1 air)
T0 (0 g/1 air)
|
2,75 a
3,25
a
4,50
a
72,00 b
|
Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama
berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%
Konsentrasi
ekstrak biji mahoni yang lebih tinggi menunjukkan peningkatan kecepatan waktu
dalam mematikan hama ulat grayak. Waktu rata-rata awal kematian ulat grayak pada
Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni 30 g/1 air
memberikan rata-rata waktu tercepat terhadap awal kematian yaitu 2,75 jam (2
jam 45 menit). Perlakuan ini berbeda tidak nyata dengan perlakuan konsentrasi
ekstrak biji mahoni 20 g/1 air dan 10 g/1 air yaitu masing-masing 3,25 jam (3 jam 15 menit) dan 4,50 jam
(4 jam 30 menit).
4.2. Lethal Time (LT50)
Hasil
pengamatan Lethal Time (LT50) setelah dianalisis menggunakan sidik
ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni memberikan
pengaruh nyata terhadap waktu yang dibutuhkan ekstrak biji mahoni untuk
mematikan 50% ulat grayak (Lampiran 3.b) dan hasil uji lanjut DNMRT pada taraf
5% dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata LT50 dengan perlakuan
beberapa konsentrasi ekstrak biji mahoni
(jam)
Perlakuan
ekstrak biji mahoni Rata-rata lethal time 50%
(jam)
|
||
T3 (30 g/1 air)
T2 (20 g/1 air)
T1 (10 g/1 air)
T0 (0 g/1 air)
|
18,00 a
24,50 ab
55,50 bc
72,00 c
|
Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama berbeda
nyata setelah ditransformasi Arc Sin
menurut uji DNMRT
pada taraf 5%
Tabel
2 menunjukkan bahwa pemberian perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni pada
konsentrasi 0 g/l air berbeda nyata dengan konsentrasi 20 g/l air dan 30 g/l
air namun berbeda tidak nyata dengan konsentrasi ekstrak biji mahoni 10 g/l air.
Konsentrasi ekstrak biji mahoni yang lebih tinggi menunjukkan peningkatan
kecepatan waktu dalam mematikan hama ulat grayak. Data di atas menunjukkan bahwa
aplikasi beberapa konsentrasi ekstrak biji mahoni telah menyebabkan nilai LT50
pada ulat grayak dengan kisaran 18,00-72,00 jam.
4.3. Mortalitas Harian
Perhitungan
mortalitas harian adalah pengamatan yang dilakukan dengan menghitung ulat
grayak yang mati setiap hari setelah diberi perlakuan. Hasil pengamatan
terhadap mortalitas harian larva ulat grayak instar 3 dengan perlakuan beberapa
konsentrasi ekstrak biji mahoni yang berbeda menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi ekstrak biji mahoni bersifat toksik terhadap larva ulat grayak.
Penggunaan ekstrak biji mahoni memberikan fluktuasi
kematian serangga uji yang berbeda dari setiap perlakuan. Hari pertama semua
perlakuan telah mampu mematikan larva ulat grayak instar 3 pada kisaran 37,5-55%
kecuali pada perlakuan 0 g/l air. Mortalitas pada hari pertama setelah aplikasi
terlihat bahwa pada perlakuan 30 g/l air telah mencapai puncak dengan
persentase 55%. Penyebab terjadinya perbedaan mortalitas harian ini diduga
disebabkan kandungan senyawa aktif di dalam larutan ekstrak biji mahoni pada setiap perlakuannya. Senyawa-senyawa
aktif seperti rotenoid yang merupakan racun
penghambat metabolisme dan sistem saraf yang bekerja perlahan. Serangga yang
mati diakibatkan karena kelaparan akibat kelumpuhan pada alat mulutnya (Siregar
dkk, 2006).
4.4. Mortalitas Total
Perhitungan mortalitas total merupakan pengamatan
yang dilakukan dengan menghitung jumlah total populasi ulat grayak yang mati
diakhir pengamatan setelah diberi perlakuan. Hasil pengamatan mortalitas total
ulat grayak setelah dianalisis menggunakan sidik ragam menunjukkan bahwa
perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni memberikan pengaruh nyata terhadap
mortalitas total ulat grayak (Lampiran 3.c) dan hasil uji lanjut DNMRT pada
taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata mortalitas total ulat grayak dengan
pemberian beberapa konsentrasi ekstrak biji mahoni (%)
Perlakuan ekstrak biji mahoni Mortalitas total (%)
|
||
T3 (30 g/1 air)
T2 (20 g/1 air)
T1 (10 g/1 air)
T0 (0 g/1 air)
|
72,50 a
57,50 ab
47,50
b
0,00
c
|
Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil yang
tidak sama berbeda nyata setelah ditransformasi Arc Sin
menurut uji DNMRT
pada taraf 5%
Tabel
3 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak biji mahoni yang
diberikan maka persentase mortalitas total ulat grayak mengalami peningkatan. Pada
perlakuan konsentrasi ekstrak biji mahoni 0 g/l air tidak terjadi kematian
serangga uji sampai akhir pengamatan. Pada pemberian perlakuan konsentrasi
ekstrak biji mahoni 10 g/l air mortalitas serangga uji mengalami peningkatan yakni
sebesar 47,50% dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan konsentrasi ekstrak
biji mahoni 20 g/l air. Pada peningkatan konsentrasi ekstrak biji mahoni
menjadi 20 g/l air dapat meningkatkan kematian serangga uji ulat grayak sebesar
57,50%. Pada peningkatan konsentrasi ekstrak biji mahoni 30 g/l air persentase
mortalitas total mengalami peningkatan yaitu sebesar 72,50%. Peningkatan
konsentrasi ekstrak biji mahoni akan meningkatkan mortalitas ulat grayak, hal
tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Dewi (2010) bahwa
konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi maka pengaruh yang ditimbulkan semakin
tinggi.
V. KESIMPULAN DAN
SARAN
5.1. Kesimpulan
1.
Pestisida nabati dari
ekstrak biji mahoni memiliki potensi untuk mengendalikan hama ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada pembibitan Acacia crassicarpa.
2.
Konsentrasi ekstrak
biji mahoni 30 g/l air merupakan konsentrasi yang terbaik dalam mengendalikan hama
ulat grayak dengan hasil waktu awal kematian serangga uji tercepat yaitu 2,75
jam (2 jam 45 menit), waktu tercepat mematikan 50% (LT50) ulat
grayak yaitu 18,00 jam dan mortalitas total sebesar 72,50%.
5.2. Saran
Penggunaan
pestisida nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang bertujuan
untuk mengurangi dampak negatif akibat penggunaan insektisida sintetik yang
tidak bijaksana. Pemanfaatan ekstrak biji mahoni sebagai pestisida nabati pada
konsentrasi 30 g/l air direkomendasikan dalam mengendalikan hama ulat grayak (Spodoptera litura F.). Selain itu perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang
cara dan frekuensi pengaplikasian ekstrak biji mahoni di lapangan agar tercapai
pengendalian yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Budianto, F dan Tukiran. 2012. Bioinsektisida
dari Tumbuhan Bakau Merah (Rhizhopora
stylosa Griff.) (Rhizophoraceae). http://ejournal. unesa.ac.id/index.php/unesa-journal-of-chemistry/article/view/122/59.
Diunduh tanggal 05 September 2015.
Dadang
dan Ohsawa, K. 2000. Penghambatan
Aktivitas Makan Larva Plutella xylostella L. (Lepidoptera:Yponomeutidae)
yang Diperlakukan Ektrak Biji Swietenia mahogani Jacq.
(Meliaceae). Bul HPT 12 :
27-32.
Darmayanti, I. 2014. Uji Beberapa Konsentrasi Ekstrak Daun Sirih Hutan (Piper aduncum L.) untuk
Mengendalikan Hama Ulat Grayak (Spodoptera
litura F.) (Lepidoptera:Noctuidae) pada Tanaman Kedelai. Jurusan
Agroteknologi. Fakultas Pertanian Universitas Riau. Pekanbaru.
Darwiati, W. 2012. Pestisida Nabati untuk
Pengendalian dan Pencegahan Hama Hutan Tanaman. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Kampus Balitbang
Kehutanan. Mitra
Hutan Tanaman. Vol.7 No.1,
April 2012, 1-9.
Dewi,
R.S. 2010. Keefektifan Ekstrak Tiga
Jenis Tumbuhan terhadap Paracoccus
marginatus dan Tetranychus sp. pada
Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas
L.). Tesis Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Doran,
J.C dan Turnbull, J.W. 1997. Australian Trees and Shrubs: Species for Land Rehabilitation and Farm
Planting in the Tropics. Canberra. Australian Centre for International Agricultural Research.
Fitriani,
U., Melina., Gassa, A. 2011. Kemampuan
Memangsa Euborellia annulata (Dermaptera:Anisolabididae) dan Preferensi
pada Berbagai Instar Larva Spodoptera litura. Universitas Hasanuddin.
Makasar.
Golani, G.D.,
Tjahjono, B., Gafur, A., Tarigan, M. 2007. Acacia
Pest and Diseases, Diagnose and Control. Second Edition. APRIL Forestry
Research and Development.
Hasnah dan Nasril. 2009. Efektivitas
Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) terhadap Mortalitas Plutella
xylostella L. pada Tanaman Sawi. Fakultas
Pertanian Unsyiah, Darussalam Banda Aceh. J. Floratek 4 : 29-40.
Herminanto,
W dan Topo, S. 2004. Potensi Ekstrak
Biji Srikaya (Annona squamosa L.) untuk Mengendalikan
Ulat Krop Kubis (Crocidolomia pavonana
F.) http://pertanian.uns.ac.id/~agronomi/
agrosains/vol%2061/Potensi%20Ekstrak%20Biji%20Srikaya%20%28Annona%20squamosa%20L.pdf. Diunduh tanggal 31 Agustus
2015.
Kalshoven,
L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia.
Revised and Translated by Van der Laan. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta
Kardinan, A.
2002. Pestisida Nabati. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Khaeruddin. 1999. Pembibitan Tanaman HTI. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2010. Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan. Balai Pustaka. Jakarta.
Midgley, S.
2000. Acacia crassicarpa; A Tree
in the Domestication Fast Lane. Australian Tree Resource News number 6,
October 2000. www. Acaciaworld.net/html/indonesia.html. Diakses tanggal 05 September 2015.
Natawigena, H.
1993. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman.
Trigenda Karya. Bandung.
Orwa, et al. 2009.
Acacia crassicarpa A. Cunn. ex Benth. Fabaceae-Mimosoideae. Agroforestry
Database 4.0 http://world
agroforestry.org/ treedb/AFTPDFS/Acacia_crassicarpa.PDF. Diunduh tanggal 05 September 2015.
Prakash, A and Rao,
J. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. New York.
Priyono, D.
1994. Pengaruh Ekstrak Mimba terhadap
Perkembangan dan Mortalitas Crocidolomia binotalis. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida nabati. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.
Prijono, D.
1998. Insecticidal Activity of
Meliaceous Seed Extract againt Cabbage
Head Caterpillar, Crocidolomia
binotalis Zeller. (Lepidoptera:Pyralidae). Bul HPT 10
(1) : 1-6.
Rahayu, M. 2009.
Efek Ekstrak Daun Legundi (Vitex
Trifolia) terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura). WARTA-WIPTEK, Volume 17 Nomor :
01 Januari 2009, ISSN 0854-0667.
Reddy, B.K.,
Balaji, M., Reddy, P.U., Salaja, G.,Vaidyanath, K., Narasimha, G. 2009. Antifeedant and Antimicrobial Activity of Tylophora indica. http://www.academicjournals.org/ajbr/pdf/Pdf2009/Dec/Reddy%20et%20al.pdf.
Diunduh tanggal 05 September 2015.
Rusdy, A. 2009. Efektivitas
Ekstrak Nimba dalam Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada Tanaman Selada. Fakultas
Pertanian Unsyiah, Darussalam Banda Aceh.
J. Floratek 4 : 41-54.
Sastrodihardjo,
S. 1999. Arah Pengembangan dan Strategi
Penggunaan Pestisida Nabati. Makalah pada Forum Komunikasi Ilmiah
Pemanfaatan Pestisida Nabati. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.
Setyowati, D.
2004. Pengaruh Macam Pestisida Organik dan
Interval Penyemprotan terhadap Populasi Hama Thrips, Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Cabai (Capsicum annum L.).
Sianturi, A.H.M.
2001. Isolasi dan Fraksinasi
Senyawa Bioaktif dari Biji Swietenia mahagoni L. Jacq. Bogor : IPB.
Siregar, B.A.,
Didiet, R.D., Herma, A. 2006. Potensi
Ekstrak Biji Mahoni (Swietenia macrophylla)
dan Akar Tuba (Derris elliptica) sebagai
Bioinsektisida untuk Pengendalian Hama Caisin. http://studentresearch.umm.ac.id/index.php/pimnas/article/viewfile/115/489ummstudentresearch.pdf.
Diunduh tanggal 05 September 2015.
Soenandar, M.
2010. Petunjuk Praktis Membuat Pestisida
Organik. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Sudarmo, S.
2005. Pestisida Nabati. Penerbit
Kanisius. Jakarta.
Sutarni, M.S.
1995. Flora Eksotika Tanaman Peneduh.
Penerbit Kanisius. Jakarta.
Tenrirawe, A dan
Talanca, A.H. 2008. Bioekologi dan
Pengendalian Hama dan Penyakit Utama Kacang Tanah. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan 464-471.
Thomson, L.A.J.
1994. Acacia aulacocarpa, A. cincinnata,
A. crassicarpa and A. wetarensis : An Annotated Bibliography.
CSIRO Division of Forestry. Australian Tree Seed Centre. Canbera. Australia.
Tjasyono, B. H.K.
2004. Klimatologi. ITB Press.
Bandung.
Umiati dan Nuryanti. 2014. Beberapa Pestisida Nabati yang Dapat
Digunakan untuk Mengendalikan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada Tanaman Tembakau. http://ditjenbun.pertanian.go.id/ Diakses
pada 09 April 2015.
Untung, K. 1993.
Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu.
Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Yuliastuti, D.S dan Surip. 2009. Teknik Pembuatan Bibit Acacia
crassicarpa untuk Pembangunan Kebun Benih Semai Uji Keturunan Generasi ke-Dua (F-2). Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta.
Zahroh,
N.F. 2012. Pengaruh Iklim terhadap Hama Ulat Grayak (Spodoptera
litura Fabricius.) pada Tanaman Kacang Kedelai (Glycine
max (L.) Merill). Departemen Geofisika dan Meteorologi,
FMIPA. IPB. https://nyayufatimahzahroh.wordpress.com/2012/06/23/pengaruh-iklim-ter
hadap-hama-ulat-grayak-spodoptera-litura-fabricius-pada-tanaman-kacang
-kedelai-glycine-max-l-merill/ Diakses tanggal 06 September 2015.
1 comment:
Keren ya ternyata banyak manfaat biji mahoni selain pupuk bisa juga jadi antidiabetes loh https://unair.ac.id/ekstrak-etanol-biji-mahoni-memiliki-efek-antidiabetes/
Post a Comment